“Fel, lo kenapa sih dari tadi mondar-mandir kayak kura-kura
kehilangan anak?,” tanya Riska saat ia merasa teganggu selera makannya
karena ulah Felly.
“Tahu nih anak! Ayan lu kambuh? Duduk kenapa? Makan tuh mie. Nggak
ngenakin orang makan tahu nggak lo!,” lanjut Billy dengan protesnya.
Tinggal Bram yang tidak berkomentar. Ia tetap melanjutkan makan
siangnya. Tanpa berkata atau sekedar melihat tingkah Felly, Bram begitu
menikmati makanan siangnya. Billy yang terus mengoceh dan Riska yang
terus marah-marah tetap dihiraukan oleh Felly.
“Kualat lo habis nyiksa anak-anak kemaren, Fel!,” ucap Bram setelah ia menikmati makanan siangnya.
“Maksud lo?!, tanya Felly dengan menyipitkan kedua matanya. Seakan, ia menunjukkan kecurigaan terhadap rekannya yang satu itu.
“Kalian punya rahasia?,” tanya Billy menyelidik.
“Menurut lo?,” tanya Bram dengan membuka kaleng minumannya.
“Bram!!!!,” bentar Felly.
“Hmmmm?,” tanya Bram santai.
“Kembaliin!!!,” kata Felly.
“Lo nyembunyiin apaan sih, Bram? Kembalikan kenapa?! Biar tuh anak kagak
teriak-teriak kayak kena setan!!!,” kata Riska dengan nada kesalnya.
“Gue nggak nyembunyikan apapun! Gue cuman tahu doang dia cari apa?!,” kata Bram ngotot.
“Emang dia cari apaan?,” tanya Billy.
“Kalung. Liontinnya cincin, kan?,” tanya Bram memastikan.
“Lo tahu darimana?,” tanya Felly.
“Soalnya dari kemarin kayak lo sentuh terus gitu. Nggak biasanya aja lo
gilain benda mati. Semahal apapun hadiah dari fans, nggak akan seberarti
itu buat lo. Yang ada, malah lo kasiin ke anak yatim piatu,” jelas
Bram.
“Lo udah punya pacar, Fel?!,” tanya Riska.
“Lo seriusan, Fel?,” tanya Billy.
Felly tidak menjawab. Melainkan ia pergi meninggalkan studio dengan raut
wajah cemas, kecewa dan juga takut yang terus menyelimutinya. Riska
menatap Bram. Seakan, ia yakin, bahwa Bram memiliki rahasia mengenai
Felly. Dan, ia tidak membiarkan Billy serta Riska untuk mengetahui itu.
Langkah kakinya terus menysuri tanah bisu itu. Lambaian pohon dan
siulan angin menjadi irama ditengah pikirannya yang kacau. Memorinya
yang terus berputar layaknya sebuah film yang tiada ujung, membuat dada
Felly terasa begitu sakit. Matanya yang menatap lurus seketika rabun
dalam bayang-bayang putih yang terus menemuinya. Seakan ia hendak mati.
Felly tak tahu mengapa hal itu terjadi padanya. Felly Anggi
Wiraatmaja. Sejak kapan ia menyesali hal kecil seperti ini. Sejak kapan
pula ia memperhitungkan waktu saat ia bersama dengan seseorang. Dan,
sejak kapan pula Felly merasakan sesaknya dada setelah ia mengenal
seorang laki-laki.
Yah… hanya satu pertanyaan yang selalu terlintas di kepala Felly.
Apakah ini takdirnya? Dimana ia harus mendapatkan posisi untuk
memikirkan seseorang? Atau ini adalah karma? Setelah berulang kali
membuat deretan laki-laki yang mencintai menjadi gila karena sifat keras
kepala Felly, ego Felly, kecantikan Felly, karir Felly, dan apa yang
ada di dalam diri Felly sesungguhnya.
Felly mengakui hal itu. Ia pernah berhasil menghancurkan kehidupan
seseorang hanya dengan berkenalan saja. Bahkan, Felly juga berhasil
membuat seseorang berani meregangkan nyawanya karena ia tidak berhasil
mendapatkan Felly. Namanya yang tersebar di mana-mana menjadikan Felly
dan juga anak-anak Pro Techno, hits di kalangan anak muda. Felly juga
mendapatkan julukannya ‘singa liar’ saat ia berada di panggung. Dan,
‘queen boy’ saat ia berhadapan dengan kamera yang dapat membuat para
laki-laki bertekuk lutut padanya.
“Apa kau sedang memikirkan sesuatu?,” tanya seseorang yang tengah melihat Felly berdiri dengan rapuh.
Seketika Felly menolehkan kepalanya. Ia melihat seseorang tangah berdiri tegak dengan bola basket yang ada di lubang sikunya.
“Kenapa kau ada di sini?!,” tanya Felly ketus.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Felly. Kenapa kamu ada di sini?”
“Semua ini bukan urusanmu, Arka!,” jawab Felly dengan nada yang dingin dan sorotan matanya yang sinis.
“Tch! Apa ini milikmu?,” tanya Arka dengan mengeluarkan benda yang ada di saku celana basketnya.
Seketika sorotan mata Felly menajam. Ekspresinya berubah seketika.
Menuntut penjelas kepada Arka agar ia mau memberikan penjelasan itu.
“Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih!,” kata Arka dengan senyuman tipisnya dan memberika kalung itu kepada Felly.
“Kenapa benda ini ada di tanganmu?,” tanya Felly ketus.
“Apa aku harus menjawabnya?,” jawab Arka menyindir.
“Jelaskan, Arka!,” kata Felly dengan nada yang mulai meninggi.
“Semoga bahagia,” kata Arka tersenyum dengan melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Felly.
“Arka!!!!,” panggil Felly dengan gema yang saling bersahutan dengan kucauan burung yang terkejut.
Seketika Arka menghentikan langkah kakinya. Kemudian, ia membalikkan
tubuhnya. Menatap sekaligus membalas tatapan Felly tajam. Yah.. tatapan
mata seekor singa betina yang hendak menerkam mangsanya.
“Hahaha, baiklah. Aku akan menjelaskan sedikit tentang kejadian kalung
itu,” kekeh Arka dengan nadanya yang menunjukkan kepahitan. Sorotan
matanya terlihat begitu menyiska dirinya. Namun, ia menutup semuanya
dengan senyuman simpulnya.
“Davincia Prayoga. Ah! Aku mengenalnya. Capten kapal pesiar dengan
pertemuan di atas pelabuhan. Perkenalan yang manis, sampai kau harus
gila memikirkan kalung yang hilang itu. Aku bukan menemukannya. Tapi aku
sengaja mengambilnya. Felly..”
“Apakah kau masih mencintaiku?,” tanya Felly memotong ucapan Arka dengan nada yang dingin.
“Mencintaimu? Tch! Apa..”
“Akapah kau masih mencintaiku?,” tanya Felly kembali.
“Apa..”
“Apakah kau masih mencintaiku, Arkana Aditya?!,” tanya Felly dengan tekanan paada setiap kalimatnya.
Arka yang sedari tadi hendak menjawab, akhirnya terdiam dengan
menundukkan kepalanya. Ia tak mampu menjawab pertanyaan Felly yang
seakan telah memanahnya tanpa melihat sasaran panah. Menusuk jantungnya,
yang hanya menyisakan sesimpul senyum di sudut bibirnya.
“Yah… aku masih mencintaimu,” kata Arka pasrah dengan mengakuinya.
“Cinta? Apakah kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di belakangku?,” tanya Felly dengan menyipitkan matanya.
“Lantas, bagaimana dengan aku yang sudah mengetahui terlebih dahulu
hubunganmu dengan Davin? Apakah kau pikir aku hanya boneka, Felly? Apa
kau pikir aku hanya patung? Yang bisa kau sakiti tanpa melakukan apapun?
Tidak! Aku, Arkana Aditya. Aku bisa melakukan hal yang sama seperti apa
yang sudah kau lakukan padaku. Baiklah! Aku menerima perselingkuhanmu
dengan Davin. Tapi, jangan salahkan aku apabila dia celaka di
tanganku!,” kata Arka dengan senyumannya yang penuh dengan arti.
Tak lama dari itu, Felly merasakan getaran di saku celananya. Matanya
pun teralih ke arah sana, terlihat dering telepon masuk. Felly
mematikan teleponnya, alisnya seketika menyatu, dahinya mengerut dengan
sorotan matanya yang tajam dan penuh dengan kobaran api.
“Arka!!!,” panggil Felly tegas.
Seketika langkah Arka terhenti. Tenggorokannya tercekat saat ia
mendengar suara gadis itu. Meski bukan seperti suara hantu, dingin dan
tegasnya suara itu seakan menunjukkan bahwa singa yang ada di dalam
dirinya telah keluar dengan sejuta kemarahan.
Felly melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Arka. Langkah
kakinya yang tegas, cepat dan pasti membuat Arka takut untuk membalikkan
punggungnya. Ia tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi padanya? Arkana
Aditya, tidak akan pernah takut dengan apapun. Namun, kenapa kali ini
rasanya sangat berbeda?
“Apa kau puas?!,” tanya Felly dingin dengan nada suaranya yang tegas dan dorotan matanya yang penuh amarah.
“Sh*t! F*ck you, Felly!,” decah Arka dengan memegang sisi pipinya yang terasa panas.
“Itulah kenapa aku membencimu! Itulah kenapa aku tega menyakitimu! Kau
tidak lebih dari sampah yang selama ini aku buang! Dimana kau hanya bisa
bersujud padaku untuk memilikiku! Dan kau, tak lebih dari kotoran
anjing yang selalu mengotori tanganmu hanya demi mendapatkan aku! Jadi,
jangan sekali-kali kau mencari gara-gara denganku! Karena Felly Anggi
Wiraatmaja, akan berbuat lebih dari sekedar menyiram api agar ia mati!,”
kata Felly tegas dengan meninggalkan Arka.
“Ah ya, jangan sekali lagi kau menyentuh Davin. Karena dia bukan
perbandingan orang yang layak untuk menjadi musuhmu! Aku sarankan,
mundurlah sebelum aku yang maju!,” kata Felly melanjutkan peringatannya.
Felly berlari ke arah parkiran mobil setelah ia meninggalkan Arka. Ia
menjalankan mobilnya ke tempat yang sudah ia duga kalau orang-orang Arka
akan menyakiti Davin.
“Davin!,” panggil Felly dengan nafas yang terengah.
“Kau kenapa, Felly?,” tanya Davin.
Felly menggelengkan kepalanya. Kemudian, tangannya memegang kedua pipi
Davin. Lalu, memegang kedua pundak, dan lengan Davin. Arah matanya
menyapu seluruh sudut tubuh Davin. Ia menghiraukan seluruh pertanyaan
Davin. Sampai akhirnya, Davin menghentikan kecemasan Felly dengan
memegang kedua bahu Felly dan menatapnya dengan sorotan Ada Apa?!!!.
“Maaf, maafkan aku. Aku, aku tadi…”
“Arkana Aditya siapa kamu?,” tanya Davin tepat sasaran di tengah ucapan Felly yang terputus.
“Apa kau sudah mengetahuinya?,” tanya Felly.
“Sudah kuduga, kau pasti akan secemas ini,” jawab Davin dengan senyuman manisnya.
“Kenapa kau tidak..,”
“Felly, aku senang kau merasa kawatair karenaku. Dengan begitu, aku
dapat menyimpulkan bahwa kau membalas rasa cintaku kepadamu,” kata Davin
dengan senyuman seringainya.
“Kau!,” kata Felly dengan membalas senyuman pula.
“Aku nggak papa, Fel. Apa kau pikir aku tidak bisa melakukan apa yang
dilakukan oleh Arka? Jika Arka menghancurkan aku dengan pesawat? Apa aku
harus menghancurkannya dengan kapal pesiar?,” tanya Davin menggoda
Felly.
“Kau gila, Davin!,” kata Felly dengan tawa di tengah bicaranya.
“Aku senang kau bisa tertawa,” kata Davin dengan nada lembutnya.
Felly tak dapat menjawab ucapan itu. Entah mengapa, Felly yang lihai
dalam penggodaan seketika kaku di depan laki-laki itu. Ia hanya berdiri
mematung layaknya ular yang terkena bius. Namun, matanya terbelalak saat
Davin memajukan langkahnya dan meraih kepala Felly ke dalam pelukannya.
“Terimakasih sudah menghawatirkanku. Terimakasih pula karena sudah
tersenyum dan tertawa bersamaku. Maaf jika aku hanya bisa memberikanmu
sebuah senyuman. Meski itu hanya sebentar.”
“Maksudmu?!,” kata Felly dengan mengeryitkan dahinya.
“Apa kau mau menikah denganku?!,” tanya Davin dengan tegas tanpa menghilangkan kelembutan di dalam nada suaranya.
“Maksudmu apa?,” tanya Felly dengan sorotan mata menuntut sebuah penjelasn.
“Aku harus pergi lagi dan berdiri di tengah lautan sana, tapi aku ingin
sebelum pergi, aku memilikimu. Memang aku akui, cara melamarmu tidak
seromantis para deretan lelakimu, tapi aku hanya ingin memilikimu.
Seutuhnya, di atas segalanya.”
Felly terdiam membeku. Ia terkesima dengan tatapan mata Davin yang penuh
dengan keteduhan. Ia terkesima dengan bibir Davin, yang terkatup dengan
indah setelah mengucapkan kalimat yang berhasil membuat Felly tak mampu
menjawabnya. Davin, melepaskan pelukannya.
“Maaf kalau aku terlalu, lancang,” ucap Davin dengan menundukkan kepalanya.
“Davin,” panggil Felly dengan meraih lengan Davin.
“Y…”
Ucapannya terputus seketika. Bagaimana tidak? Mulut Davin telaah
terkunci dengan bibir lembut yang begitu menggiurkan. Bibirnya telah
menyatu dengan bibir yang selama ini ia nantikan. Bibir yang telah
menjadi idaman para kaum Adam.
Davin mencoba untuk memasuki ruang di dalamnya. Dan bibirnya terkatup
rapat seakan ia menakutkan sesuatu. Davin mengeryitkan dahinya.
Bagaimana tidak? Felly Anggi Wiraatmaja menjadikan dirinya ciuman
pertama? Sungguh bahagia rasanya.
Felly terus mengatupkan bibirnya. Keningnya mengeryit. Dan Davin melihat
ketakutan di raut wajah Felly yang tengah terpejam. Jemarinya menarik
pinggang Felly untuk mendekat. Lidahnya mulai membelai bibir Felly. Dan
di sanalah Davin mengerti siapa Felly sebenarnya. Gadis yang nakal dan
penakut sekaligus. Ia hanya akan nakal pada pria yang ia cintai, dan
penakut pada pria yang dicintai pula.
Davin menyimpulkan dalam hal ini, Felly Anggi Wiraatmaja, bukanlah
gadis sembarang yang patut untuk dikira bahwa ia berani memberika segala
sentuhan tubuhnya kepada kekasihnya. Melainkan, orang yang ia percaya
menjadi suaminya. Yah.. ciuman pertama untuk suaminya.
“Kau harus mau menikah denganku!,” kata Davin tegas setelah melepas ciuman itu.
“Terimakasih atas semuanya,” kata Felly malu-malu.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Felly.”
Felly menganggukkan kepalanya dengan senyum. Kemudian, Davin
mengeluarkan sekotak cincin yang ia simpan di dalam sakunya. Dimana
awalnya, ia merasa takut Felly akan menolaknya. Tapi ternyata dugaannya
salah, Felly bersedia menjadi pendamping hidupnya. Dengan begitu, Davin
dapat berlayar dengan tenang.