Rabu, 08 Maret 2017

Sekeping Memori

Senja lenyap tergantikan malam. Rembulan hadir membawa sebilah rasa syahdu. Mengusir keriangan hingar bingar terangnya hari. Meninggalkan kesan. Menyambut sang mimpi.
Hany terpaku menatap wajah kekasihnya. Wajahnya merona seperti biasa. Tak sedikitpun terlihat gurat kesedihan di mata kucingnya. Ferly. Iya dia sumber segala kebahagiaan bagi Hany.
“Kenapa kok senyum-senyum terus? kangen?” Ferly membelai lembut rambut kepala gadisnya.
“Kalo iya emang kenapa?” Hany menyandarkan kepalanya di bahu sang kekasih. Menikmati keheningan malam bersama belahan jiwanya.

“Aku beruntung bisa setiap hari seperti ini. Sama kamu. Wanita yang mampu mengubah cara pandangku terhadap dunia. Kamu satu-satunya alasan untukku bertahan dalam keadaan apapun.” Ucap lirih Ferly.
Malam kian larut. Kesyahduan kian terasa di sana.
“Tadi aku lihat Ferly di cafe bareng cewek. Cantik banget.” Suara Anton teman kantornya.
Bukan pertama kalinya Anton “mengoceh” seperti itu. Memang dia sampai sekarang masih tergila-gila dengan kelembutan sang gadis pujaan, Hany. Namun hati Hany tak tergoyahkan. Tak sedikitpun Hany merespon gosip yang keluar dari mulut Anton. Rasa sayang dan percaya yang membuatnya bertahan. Sampai Anton memberikan sebuah foto.
“Ada lagi yang mau kamu kasih tahu ke aku, Anton?” Hany berdiri dari kursinya. Berlalu. Keluar dari ruang kafetaria kantornya dengan raut yang dibuat setenang mungkin.
Ferly. Apakah aku harus percaya kata-kata anton kali ini?
Seakan waktu 3 tahun pupus. Harapan masa mendatang terlihat makin memudar. Tertutup asap tebal. Lalu menghilang.
Hany menghempaskan tubuhnya di sofa hitam miliknya. Sakit. Merasa dikecewakan meski hati kecilnya masih memaksa untuk percaya. Tapi kenyataan yang dilihatnya tadi siang kembali meraung raung.
Hari-hari berikutnya terasa lain. Entah apa yang terjadi sehingga Ferly saat ini hampir jarang meneleponnya. Hany pun demikian, dia sengaja tidak menghubungi kekasihnya. Semenjak kejadian itu, Hany masih meredam amarah. Namun yang terjadi intensitas hubungan keduanya sedikit merenggang.
“Kenapa akhir-akhir ini nggak pernah ngajak jalan? Udah bosen?” Hany menampar Ferly dengan kata-katanya di telepon.
“Hany? Kalo aku bosen beneran gimana?” Ferly sedikit gemas.
“Ya nggak gimana-gimana.” Hany menjawab santai.
“Aku lagi sibuk akhir-akhir ini. Sibuk banget.” Ferly mencoba menjelaskan.
“Sesibuk-sibuknya kamu dulu pasti nyempetin buat ketemu aku. Tapi sekarang kamu berubah. Perubahan kamu itu telah membuat kadar kepercayaanku berkurang. Dan wanita di kafe itu sudah cukup menjelaskan semuanya.”
Hany membanting ponselnya di kasur. Rasa kecewa makin ditelannya.
“Kamu Hany, kan?” Tanya seorang wanita cantik yang sepertinya pernah dilihat oleh Hany. Iya, dia wanita yang ada di foto itu.
“Iya betul” jawab Hany singkat.
“Aku Niken. Sepupunya Ferly.” Wanita itu mengulurkan tangannya. Hany menyambutnya dengan senyum hangat.
Pertemuannya dengan Niken di toko buku sore tadi, membuatnya dijungkir balikkan pada keadaan yang membuat hatinya dipenuhi penyesalan.
“Kamu pasti salah mengira kalo aku ini selingkuhan pacar kamu.” Wanita itu menjelaskan semuanya.
“Terus sekarang Ferly di mana?” Tanya Hany dengan raut wajah penuh penyesalan.
“Kamu akan tahu setelah kamu melihat video di kaset ini.” Niken menyerahkan sekeping kaset film.
Sesampai di rumah, Hany langsung menyalakan film itu. Dan itu ternyata video rekaman dari Ferly.
“Ku ingin dia yang sempurna untuk diriku yang biasa. Ku ingin hatinya. Ku ingin cintanya. Ku ingin menjadi seorang yang sempurna. Untuk dia” lagu berjudul Dia dinyanyikan dengan merdu oleh Ferly dengan petikan gitarnya.
“Hai Hany kekasihku. Kamu tau, ini pertama kalinya aku merasakan kerinduan yang begitu menyiksa. Berminggu-minggu harus jauh dari kamu. Eh jangan senyum-senyum aja dong. Aku tau senyum kamu emang manis tapi jangan keterusan. Ntar aku makin sayang loh.” Ferly menyeringai lebar.
“Oh iya. Aku juga mau minta maaf sudah menggoda kamu. Sengaja cuek sama kamu. Niken yang punya ide ini. Dan say thanks to Anton. Dia fans terberat kita kayaknya. Hmm… jangan bosan dengan sikap aku yang kadang sok cuek. Sok romantis. Sok kegantengan tapi emang ganteng sih. Sok kekanak-kanakan. Aku percaya kamu wanita terhebat kedua setelah ibuku yang mampu memahami suasana hatiku. Hany, aku mencintaimu seperti sang waktu yang tak pernah berhenti sedetikpun. Selalu dekap tubuh ini, sebab tanpamu tubuh ini hampa tanpa rasa. Selamanya aku akan mencintaimu. Oh iya, kamu masih ingat halte busway 3 tahun lalu kan? Aku akan menunggumu di sana besok sore. Tepat jam dimana dulu kamu menerimaku untuk jadi pacar kamu. Dan semoga esok kamu juga menerimaku untuk jadi lelaki yang akan mendampingi hidupmu kelak”
Butiran hangat mengalir dari sudut mata Hany setelah melihat video itu. Rasa haru, bahagia, juga sesal bersatu memenuhi hatinya.
Esok Ferly akan melamarnya. Menjadikannya bagian terpenting di hari-hari berikutnya.
Membangunkan suami di pagi hari. Menyiapkan sarapan. Mencium lembut tangan suami dan di balas dengan kecupan hangat di keningnya. Menanti sang suami pulang kerja di depan rumah saat senja datang. Mendengarkan semua keluh kesah suaminya selama seharian bekerja. Tersenyum lembut saat berhadapan wajah sebelum tidur. Mengatakan good night dan akhirnya salah satu tidak ada yang berniat memejamkan mata lebih dulu.
Ah… manisnya menonton sebuah tayangan seklise film yang tak mungkin terwujud. Yang menyisakan rasa nyeri hingga hati wanita bermata indah itu berdarah-darah. Bahkan sampai saat ini. Menjelang 3 tahun kepergian kekasihnya, Ferly.
Iya, kecelakaan sebelum pertemuan senja itu telah merenggut nyawa kekasih dan kebahagiaannya. Semuanya benar-benar menghilang. Hanya ada hening dan dingin yang setiap malam setia menemaninya.
Hany kembali menonton video itu. Dia merindukan semuanya. Semua tentang Ferly. Hanya rindu. satu-satunya rasa yang lebih menakutkan dari kematiannya sekalipun.