Selasa, 30 Agustus 2016

Satu Untuk Mu

Jika ada yang lebih indah dari kata benci, aku ingin membencimu setulusnya.
Pekatnya malam yang dinginnya menusuk hingga ke jantungku membuatku sulit memejamkan mata. Di balik jendela ini hanya aku dan buku gambarku terpaku membunuh malam. Hingga aku tertidur lelap di antara gelap dan pekat berjelaga di langit-langit kamarku.
Kringgg! Kringgg!
“Viko! Bangun sayang ayo mandi! Kamu harus berangkat sekolah nak” seru mama yang sedang sibuk memasak nasi goreng untukku. Tanpa berlama-lama aku bergegas mandi dan bersiap-siap. Di bawah papa dan mama sudah menungguku.
“Pagi pa, ma!” ucapku.

“Wihh ganteng banget anak papa ini, ma” ledek papa padaku.
Aku begitu bahagia tinggal di keluarga ini, terasa nyaman dan damai setiap hari. Tapi hal sebaliknya terjadi di sekolah. Rasanya ingin aku pindah dari sekolahku saat ini. Entah rasa kecewa yang bagaimana yang membuatku enggan menatap dirinya. Vika sahabatku, yang dulu aku begitu dekat dengannya. Sudah seperti kakak, adik, musuh, teman, saudara, bahkan lebih dari itu. Aku sangat menyayanginya. Tapi entah bagaimana sekarang aku membencinya, tapi tidak. Aku tidak bisa.
“Hey! Viko!” *bruk* tubuh tambunnya menubrukku, hampir saja aku terjatuh.
“Uh dasar si gempal! Kenapa sih?” ucapku kesal. Yah temanku satu ini memang kadang suka sembarangan, sudah tau badanku kurus, suka ditabrak pula dengan tronton satu ini. Baim namanya.
“Ko, kau tau kan? Vika sekarang berubah” tanya baim tiba-tiba kepadaku.
“Berubah gimana?” balasku sok datar.
“Ye elah, sudah lah ko, kau pasti merasakannya juga. Belakangan ini dia aneh”
“Ah kamu im, perasaan kau saja mungkin” “Ah bagaimana juga kau ko, sudah lah nanti kau tau sendiri”
Kami lalu membubarkan diri dari obrolan menyakitkan ini. Aku bahkan tidak tahan lagi mendengar kata “Vika” di telingaku.
Jam pelajaran hari ini pun habis, yang diakhiri dengan PR bertubi-tubi. Aku sesegera mungkin berjalan ke depan gerbang. Biasanya pak maman, sopirku sudah menunggu.
Langkahku kian cepat agar waktu lelah mengejarku. Kuperlebar jarak kaki kanan dan kiriku ke depan dan ke belakang. Dan.. “brukkk”
“Awh!” rintih gadis itu
“Vika?” oh tidak, aku menabraknya.
“Lain kali bisa liat-liat gak sih ko kalo jalan? Beli kacamata yang lebih besar biar keliatan!” tukasnya.
“Ya, ma.. Maaf ka, aku tadi buru-bu…”
“Ah sudah, minggir aku mau lewat!” potongnya.
Ya aku memang salah, tapi gak harusnya dia menghinaku dengan cara seperti ini. Aku semakin tak tahan melihatnya seperti itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya orang di balik layar, yang selalu berusaha membuatnya bahagia. Tapi selalu mendapatkan luka.
“Huffttt! Capek banget” keluhku di dalam mobil.
“Wah den, ngapain aja kok bisa capek?” tanya pak maman.
“Hehe enggak pak, tadi banyak PR yang dikasih guru”
“Yah namanya juga sekolah den, ya itulah tugasnya. Belajar!”
“Hehe iya pak, ya udah pak langsung pulang aja yah. Hari ini viko males ke mana-mana”
“Siap den! Berangkat!”
Sesampainya di rumah aku hanya melihat jam dinding berdetak. Kunikmati detaknya yang tak seirama dengan detak jantungku. Dan sekelumit pikiran tentang vika muncul lagi. Ingin sekali kutelepon dan kuungkapkan semua perasaan kepada vika. Kuputar balikan handphone di tanganku. Tapi, ah kuputuskan untuk tak meneleponnya. Biarkan semua perlakuannya padaku dia nikmati.
Hari-hari kulewati tanpa sepatah kata pun keluar untuknya dan sebaliknya. Hingga pada suatu malam, telepon rumahku berdering.
“Halo, ada yang bisa saya bantu?” ucap mama mengangkat telfon.
“Bu, vika kecelakaan dan sekarang sedang di ugd bu.” suara isak seorang ibu di seberang sana.
Mamaku tak habis fikir, baru saja kemarin mama bertemu vika. Dan aku? Aku terkejut dan sangat-sangat terkejut. Kami sekeluarga pun bergegas ke rumah sakit untuk menemui keluarga vika.
Sesampainya di sana aku berjalan cepat ke ruangan di mana vika dirawat. Aku, aku melihatnya terbaring lemah dengan peralatan rumah sakit yang tersambung ke tubuhnya. Lalu dokter datang menemui kami. Dan mengatakan bahwa vika membutuhkan satu ginjal untuk hidupnya. Kami sangat terpukul. Kami sekeluarga berdiskusi atas hal ini. Dan akhirnya, keputusan telah kami ambil.
Beberapa minggu kemudian, vika terbangun. Satu yang tak kupaham adalah, dia tak menyebutkan namaku. Dua hari kemudian vika sudah masuk ke sekolah. Dia menemuiku di perpustakaan.
“Viko,” dengan senyum hambarnya dia mendekatiku.
Tanpa basa-basi aku ke luar dari sana. Tak tahan aku melihatnya. Rasa benci ini semakin membuncah tiap kali mendengar namanya dan melihat wajahnya.
Dan selama satu bulan aku tak berbicara dengannya. Hingga suatu hari, di hari ulang tahun vika aku sudah menyiapkan kado berupa buku karyaku sendiri yang berjudul ‘inspirasi terindah’. Dan buku itu terinspirasi olehnya. Berisi perasaanku padanya. Mungkin hanya dengan buku itu aku bisa mengungkapkan semua. Kado itu kutitipkan pada mama. Karena esok aku harus pergi ke kyoto, untuk pindah sekolah. Di dalamnya sudah tertulis surat untuknya.
Keesokan harinya, di sekolah. Mama bertemu vika untuk memberikan titipanku. Perlahan ia baca.
“Dear vika. Hanya satu untukmu. Jaga baik-baik ginjalku. Aku tak ingin melihatmu sakit. Aku sudah tau rasanya membuatmu bahagia itu sulit. Jadi aku tak sanggup melihatmu bersedih. Maafkan sikapku akhir-akhir ini. Aku hanya kecewa. Aku hanya ingin membencimu sepenuh hati. Tapi tidak, aku lebih baik pergi. Aku gak bisa membencimu. Semoga bahagia vika. Selamat ulang tahun.
Yang selalu untukmu
Viko”
Kini hanya hati yang tak terpisahkan oleh jarak, ruang dan waktu. Dan biarkan aku membencimu dengan tulus..